Mengikis Moralitas Ganda Keterlibatan Umat Manusia Untuk Bertindak

Tidak ada komentar

MENGIKIS MORALITAS GANDA
KETERLIBATAN UMAT MANUSIA UNTUK BERTINDAK

Ketika melihat persoalan isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Apalagi belakangan ini, sebelum Pilgub (pemilu gubernur) DKI yang menguras banyak tenaga, pikiran dan hampir menjadi bencana ancaman bangsa. Isu SARA digunakan sedemikian rupa oleh kelompok yang berkepentingan untuk memuluskan kekuasaannya. Semuanya dilakukan tak pandang bulu, tak memikirkan apa yang terjadi. Dengan membabi buta semuanya menerjang jalan-jalan politik tidak sesuai dengan budaya politik bangsa kita. Tidak terlepas dari itu, isu agama yang digulirkan seperti bola yang dipantulkan tak menentu arah pantulannya, semakin membuat masyarakat kehilangan kesadaran tak sadar telah masuk dalam arena politik di DKI. Semuanya seperti dihipnotis, agar masyarakat masuk kedalam kearena politik kekuasaan yang dimainkan oleh para penguasa politik partai yang mempunyai kepentingan.
Isu agama menjadi isu yang selalu hangat untuk terus digoreng agar masyarakat beraksi, ikut panas juga karena agama telah dicoreng oleh sekelompok orang yang tidak jelas siapa dirinya, seperti apa bentuknya, tidak berwujud fisik tapi memainkan peranan tersebut. Apalagi masyarakat Indonesia adalah pemeluk mayoritas agama islam, bukan hanya itu masyarakat Indonesia termasuk bangsa yang heterogen dan menjadi negara terbesar ke-3 dunia. Hal ini yang menjadikan bangsa Indonesia sebagai negara kesatuan republik Indonesia, yang tidak mudah menjaga kesatuan agar tetap bersatu. Berbagai isu digelontorkan untuk menghancurkan bangsa Indonesia agar Indonesia menjadi pecah belah, tetapi hal tersebut selalu dicegah oleh negara kita.
Jika melihat Fenomena hari ini, teringat kolom-kolom Gusdur yang dibuku-kan yang masih relevan dalam kajian isu agama, buku tersebut dengan judul “Tuhan Tidak Perlu Dibela”. Dalam kolom buku tersebut ada yang menarik tentang moralitas ganda dalam beragama. Terasa semakin sulit dan para mubaligh dimasa kini merasa senang sekali mengutip ucapan Nabi: “Beramallah bagi (kepentingan) duniamu seolah-olah kau benar-benar akan hidup selamanya; dan beramallah untuk (kepentingan) akhiratmu seolah-olah engkau benar-benar akan mati esok”. Dengan ucapan itu, maka kemudian dibuktikan bahwa Islam memandang urusan duniawi sama pentingnya dengan urusan ukhrawi.
Akan tetapi, ada akibat sampingan dari penafsiran dictum diatas secara demikian itu. Keinginan untk menghilangkan tekanan terlalu besar atas urusan ukhrawi dan mengembalikan perhatian pada soal-soal duniawi dalam proporsi yang wajar, akhirnya mengakibatkan dikotomi dalam sikap dan pandangan hidup muslim modern. Dikotomi itu terutama mengambil bentuk pemisahan antara soal-soal duniawi dan soal-soal ukhrawi, dimana sikap dan pandangan si muslim modern itu menjadi berjarak sangat jauh dalam menangani masalah keduanya.
Secara kolektif, modernism pasrial dikalangan kaum muslimin ini, yang sudah berkembang kurang lebih satu abad, akhrinya menghasilkan moralitas ganda yang dewasa ini dapat kita amati bersama manifestasinya dalam berbagai bentuk. Ada kegairahan membangun masjid yang megah seperti istana agar terlihat megah memamerkan kepada yang lain, bahwa dengan membangun masjid yang megah ia sudah menyenangkan Tuhan-Nya, tetapi tidak ada kepekaan yang cukup yang tidak disertai pada penderitaan sesame manusia, dalam kerajinan memelihara ritus keagamaan tanpa merasa malu memperagakan kemewahan hidup di tengah-tengah merajalelanya kemelaratan dan kemiskinan, dalam kepongahan para pemuka agama untuk mengerahkan massa mereka bagi tujuan-tujuan duniawi yang bersifat pribadi, dan lebih-lebih picik dalam kepatuhan dan kealiman di muka umum yang menyembunyikan kesenangan pada maksiat dalam kehidupan pribadi.
Masih banyak lagi contoh yang dapat dikemukakan, tetapi dari contoh tersebut sudah tampak nyata yang terjadi sekarang ini, betapa telah mencengkrama moralitas ganda yang dilihatkan dalam bentuk sikap dan pandangan kaum muslimin sekarang ini. Mengaku mayoritas umat muslim terbanyak belum mendorong pembangunan dalam arti sesungguhnya. Umat muslim disibukkan “kegiatan agama dengan pembuatan sarana-sarana lahiriah, seperti masjid, kepadatan “kehdiupan beragama” dengan semua ritusnya, MTQ, kepuasan mengabdi pada agama dengan berbagai kerja penyiaran agama, semuanya menutup mata kaum muslimin pada umumnya dari tugas utama agama: mengangkat derajat manusia dari kemiskinan dan kehinaan. Kalua diingat betapa eratnya ajaran islam berkait dengan upaya meringankan beban si miskin dan si yatim, akan terlihat betapa jauhnya suasana kehidupan kaum muslimin dimana-mana dari inti agama mereka.
Untuk memperbaiki kepincangan diatas, jelaslah kaum muslimin harus mampu dan berani mengadakan koreksi atas moralitas yang mereka hayati sekarang ini. Meraka tidak boleh bersikap apatis terhadap kerusakan berat yang ditimbulkan dalam sikap dan pandangan hidup mereka oleh moralitas ganda yang ada. Membiarkan terjadinya korupsi besar-besaran oleh perorangan maupun kelompok yang mendukungnya dengan menyibukkan diri dengan ritus-ritus hanya akan berarti membiarkan berlangsungnya pemiskinan bangsa yang semakin miskin dan terpuruk. Sikap pura-pura tidak tahu-menahu tentang upaya menegakkan hak-hak asasi manusia, untuk dicukupkan bersantai-santai dengan manifestasi keagamaan yang bersifat lahiriah belaka, tidak lain hanya berarti semakin tertundanya proses perataan kesejahteraan.
Dengan demikian, moralitas yang harus ditumbuhkan haruslah memiliki watak utama yang berupa keterlibatan pada perjuangan si miskin untuk memperoleh kehidupan yang layak dan penghargaan yang wajar atas hak-hak asasi mereka. Hanya dengan cara demikianlah derajat agama itu sendiri ditunjang oleh pemeluknya. Semakin tinggi martabat manusia yang menjadi pemeluknya maka semakin tinggi pula martabat agama itu sendiri. Moralitas yang sedemikian penuh dengan keterlibatan pada upaya yang mengangkat martabat manusia inilah yang dikehendaki kaum muslimin sekarang ini, bukannya moralitas cengeng yang penuh dengan persoalan-persoalan sampingan seperti kehiruk-pikukan sekitar bahayanya narkotika, teroris dan sebagainya. Moralitas islam adalah moralitas yang merasa terlibat dengan penderitaan sesama manusia, bukannya yang justru menghukumi mereka yang menderita itu.
Jika kita sudah memahami moralitas yang dibawakan agama sebagai rasa keterlibatan yang digambarkan diatas, maka masalah bahaya narkotika dan terorisme bisa diselesaikan, dengan mengikis penderitaan dan mengangkat derajat si miskin dari keterpurukan yang dihadapi sekarang ini.

                                                                                    Menes, 02 Maret 2018


REFEENSI
Wahid Abdurrahman. 2010. Tuhan Tidak Perlu Dibela. LKIS

Tidak ada komentar :

Posting Komentar