Penguasa Sebagai Alat Politisasi

Tidak ada komentar

PENGUASA SEBAGAI ALAT POLITISASI

Zaki Zaenal Arifin

Akhir-akhir  ini banyak permasalahan di dunia kampus yang semakin hari semakin menampakkan diri, tidak ada yang berani membuka permasalahan di kampus. Mungkin semua mahasiswa takut dengan ancaman yang begitu mengerikan sehingga mahasiswa berfikir ulang untuk melaporkan permasalahan di kampus sampai-sampai mahasiswa kembali mengulang kuliah atau tidak diluluskan. Sebenarnya yang tidak berani melaporkan bukan takut akan kepada pihak si salah dan ancamannya, melainkan ada factor yang membebani dipikiran mahasiswa.
Mungkin faktornya bisa jadi biaya UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang begitu besar yang harus dibayarkan orangtua mahasiswa ke pihak kampus, dengan besar UKT tersebut mahasiswa melihat kondisi ekonomi orangtuanya, seharusnya pembayaran kuliah bisa dilihat (diukur) dengan pendapatan orangtua serta pembayaran kuliah sesuai dengan pendapatan akan tetapi tidak sesuai dengan kenyataan, semua dipukul rata oleh pemangku kebijakan kampus, mereka tidak mau berfikir lebih banyaknya malas-malasan yang dinginkan langsung cepat selesai dalam menyikapinya, hal ini yang berbahaya, bagaimana semua dipukul rata tidak menyesuaikan UKT dengan pendapatan orangtua mahasiswa. Dengan system tersebut, mengakibatkan kehancuran system dan bisa terjadi politisasi mahasiswa, mau tidak mau Karena orangtua menginginkan anaknya memperoleh pendidikan yang tinggi, terpaksa orangtua harus kerja keras agar biaya pendidikannya bisa terbayar.
Yang kedua, mungkin bacaan literature mahasiswa yang kurang atau bisa disebut lemah. Menurut data survei, minat baca penduduk masyarakat Indonesia sangat rendah, bisa dikatakan terbawah dari negara-negara ASEAN. Begitu miris melihat data survei minat baca orang Indonesia, padahal secara jumlah penduduk Indonesia adalah negara penduduk terbanyak ke-3 dunia, tetapi malah setidak sesuai dengan minat bacanya. Dengan demikian, seharusnya mahasiswa adalah penunjang kemajuan bangsa dalam minat baca secara definisi mahasiswa adalah seorang peserta didik yang secara pembelajaran mampu belajar mandiri, mulai mengembangkan pendidikan sendiri tidak perlu dipaksa-paksa lagi. Dengan kondisi sekarang ini, tidak ada lagi makna mahasiswa di dalam mahasiswa yang belajar mandiri, mahasiswa lebih suka dituntun oleh dosennya sampai lulus, apakah pantas disebut seorang mahasiswa? Seharusnya tidak pantas, orang yang disebut mahasiswa adalah orang secara fashion terlihat rapi, styles, secara kehidupan pokok terpenuhi dan lain-lain. Karena ada penyimpangan makna tentang mahasiswa sehingga makna mahasiswa tersebut hilang secara intelektual hanya cangkangnya saja yang diambil oleh mahasiswa bukan pemikiran yang bisa merubah zaman, hal ini yang membuat rentang dipolitisasi oleh pihak-pihak yang memanfaatkannya.
Yang ketiga, hilangnya daya kritis mahasiswa, yang demikian nyambung dengan yang saya sebutkan diatas, sehingga semuanya mudah untuk dimanfaatkan.
Yang keempat tidak adanya keberanian untuk mengungkap mana yang salah mana yang benar, keberanian muncul dalam diri mahasiswa apabila rangkuman dari beberapa factor yang saya sebutkan diatas bisa tercapai minimal terpenuhi standar, karena berbicara keberanian mengungkapkan kebenaran tidak terlepas dari literature bacaan dan daya kritis sehingga memunculkan tindakan keberanian. Keberanian adalah prinsip dan tekad yang kuat (teguh pendirian) tidak bisa digoyah oleh siapapun, yang dilihatnya adalah kebenaran. Walaupun ada ancaman yang sedang mengancamnya, tidak takut untuk melawan ancaman. Dengan demikian, kita krisis kritis mahasiswa-mahasiswa yang berani melantangkan kebenaran, tidak tunduk kepada kesalahan sehingga tidak mudah dipolitisasi mahasiswa melalui system serta aturan-aturan oleh pemangku kebijakan.
Sekarang ini, keberanian mahasiswa telah hilang ditelan bumi. Sebenarnya mahasiswa merasakan secara fisik ada yang salah dan ada yang menekan dirinya dalam kebijakan system yang dibuat kepada dirinya. Tapi semua mahasiswa tidak ada yang mengkaji secara bersama-sama tentang kenjanggalan-kejanggalan di dalam dunia universitas. Hanya beberapa saja yang merasakan dan mampu mengkaji kejanggalan-kejanggalan yang ada di universitas, tidak semuanya tau persoalannya. Malahan kebanyakan mahasiswa tidak mau tau persoalan yang hari ini dipersoalkan oleh teman-teman yang mengkajinya. Kebanyakan mahasiswa sibuk dengan aktiftas yang tentu tidak bermanfaat bagi mahasiswa, yang bisa dikatakan adalah kaum intelektual.
Apakah pantas disebut mahasiswa apabila mahasiswa itu sendiri tidak mau mengkaji apa yang menjadi permasalahan serta kaum intelektual yang membawa perubahan di masyarakat. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan mahasiswa mampu membuat atau menciptakan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Bahkan mahasiswa hadir untuk menghadapi persoalan-persoalan yang terjadi dimasa sekarang dan masa depan.
Sebaliknya mahasiswa adalah alat untuk menjadikan lahan basah bagi kaum penguasa negeri, pemodal bisnis dan penguasa alat produksi manusia. Contohnya penguasa negeri adalah negara, yang selalu menindas rakyatnya dengan sebuah kebijakan untuk kepentingan penguasa dan kelompok penguasa. Semua atas nama rakyat tapi rakyat kelompoknya lah yang diuntungkan bukan rakyat yang telah dimiskinkan. Bukan hanya itu, penguasa negara pula membuat kebijakan system bagi dunia universitas agar disibukkan dengan perkuliahannya dan dikaburkan pikirannya untuk tidak memikirkan permasalahan rakyat yang telah dimiskinkan. Semuanya terbukti, mahasiswa di nina bobokan oleh penguasa negeri ini agar apatis terhadap persoalan masyarakat, dan nilai mahasiswa sebagai akademisi hilang, yang tinggal hanya namanya saja.
Selanjutnya pemodal bisnis yang merongrong masyarakat untuk kebutuhan para pemodal yang ingin menguasai negara ini. Mereka lakukan dengan berbagai cara, mulai dari pengambilan paksa tanah dengan cara kekerasan. Apalagi pemodal ini dilindungi oleh alat negara yang secara kemampuan dan peralatan begitu lengkap dan kuat untuk menaklukan siapapun yang melawan. Masyarakat dibuat tidak berdaya oleh alat negara untuk kepentingan pemodal bisnis. Setelah itu, mahasiswa akan menjadi alat produksi yang telah disiapkan oleh pemodal bisnis sesuai dengan post-post yang telah disesuaikan.
Semua sudah terpola dengan sistematis. Politisasi terjadi karena tidak adanya daya kritis oleh mahasiswa. Semuanya dipaksa tunduk untuk mengikuti kemauan yang mempunyai kepentingan ditingkat masing-masing. Daya kritis mahasiswa hilang karena mahasiswa tidak mau berfikir serta tidak mau dipaksa untuk berfiikir yang keras persoalan-persoalan yang telah dirasakan oleh kulitnya masing-masing mahasiswa. Semuanya dibuat takut, dipaksa harus mengikuti arus system kebijakan yang dibuat oleh pemangku kebijakan.
Bukannya alergi atau menganggap bahwa system kebijakan yang dibuat oleh pemangku kebijakan salah semuanya. Ada juga yang benar, yang memihak kepada rakyat. Kebanyakan kebijakan yang dibuatnya untuk kepentingan penguasa yang memimpin. Karena itu ada yang harus tetap dikritisi oleh mahasiswa agar pemangku kebijakan paham dan selalu merasa diawasi oleh mahasiswa yang mempunyai keilmuan yang bisa dikatakan cukup paham (yang biasanya disebut pengontrol pemerintahan). Untuk menjadi alat pengontrol pemangku kebijakan dibutuhkan daya kritis yang kuat dengan kajian-kajian yang dilakukan mahasiswa.
Semuanya tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan, harus ada proses yang panjang untuk mencapai titik puncak alat pengontrol penguasa. Untuk itu, mahasiswa harus sadar dulu nilai seorang mahasiswa yang sesungguhnya, jangan sampai mahasiswa selalu di nina bobokan oleh penguasa. Kemudian memulai dengan mengasah kebiasaan-kebiasaan daya kritis dengan melawan arus pemangku kekuasaan, proses tersebut harus dilakukan agar persoalan-persoalan rakyat yang dimiskinkan bisa terselesaikan. Minimal ada perubahan bagi masyarakat, supaya masyarakat bisa tersenyum walaupun perubahan yang dilakukan hanya sedikit.
Semuanya bisa mewaspadai politisasi yang dibuat oleh pemangku kebijakan dan jangan sampai diberikan ruang untuk mempolitisasi mahasiswa maupun masyarakat. Semuanya bisa saja terjadi asalkan pola pikir mahasiswa tidak hilang untuk kritis.

                                                                                          Rengat Hilir, 1 April 2018



zakizaenalarifin23@gmail.com

Tidak ada komentar :

Posting Komentar